BUDAYA SUKU DAYAK
Suku Dayak (Ejaan Lama: Dajak atau Dyak) adalah nama yang
oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat,Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan).
Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Beraudan Tidung. Menurut
sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesiatahun
2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi
tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan
suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya
masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan
orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
"perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya.
Ada yang
membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah
dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju danrumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis
melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing
memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
· "Barito Raya (33
bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa
Madagaskar, dan Sama-Bajau termasuk satu suku yang berdiri dengan
nama sukunya sendiri yaitu Suku Paser.
· "Borneo Utara"
(99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang berdiri
dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Tidung.
· "Sulawesi
Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak
Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
· "Melayik"
dituturkan: Dayak Meratus/Bukit
(alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq Senganan), Dayak
Keninjal, Dayak
Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak Kendayan (Kanayatn). Beberapa suku
asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan rumpun ini sebagai suku-suku
yang berdiri sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Berau, Suku Sambas, dan Suku Kedayan
Etimologi
Istilah
"Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli
non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu., Ini terutama berlaku di
Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap
termasuk kategori Dayak walaupun beberapa di antaranya disebut dengan Suku
Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah
ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa
Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh
menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah
kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa
kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang
berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya
Istilah
untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn:
orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari;
aju= hulu) Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk
penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan
Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin,
istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia
Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung)
yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial
Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara administratif
disebut Tanah Dayak. Sejak
masa itulah istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau
rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif
merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya[33], khususnya non-Muslim atau
non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah
Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan Menurut
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang
ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali
mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari
kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya,
menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara
pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans
mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu
sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan
bahwa orang-orang Iban menggunakan
istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai.
Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak
menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang
Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet Lahajir et al.
mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam
literatur, yaitu Daya, Dyak, Daya,
dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal
istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang
menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.[38]
Asal mula
Secara
umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia.
Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust,
yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalahTaiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok
orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada
kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang,
dan ke timur menuju Pasifik.
Namun
orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan
70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari
sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geologmenyebut daratan ini "Sunda"),
manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai
benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari
pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan,
dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai
hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.Tetek Tahtum menceritakan
migrasi suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah
hilir sungai-sungai.
Di daerah
selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[42] Kejadian tersebut mengakibatkan
suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke
wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh
Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1520).
Sebagian
besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar
dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi
menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di
daerah-daerahKayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak
masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan
dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal
adalah Lambung Mangkurat menurut
orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).[43] Di Kalimantan Timur, orang Suku
Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[butuh rujukan] Tidak
hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke
Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah
Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan
bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa
seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi
pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan
penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah.
Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung
bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi
pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin
pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan
bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk
Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga
dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian
suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak
hanya itu, sebagian dari mereka juga ada bangsa Eropa.
Sejak
awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan
perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada
tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok.
Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah
seperti piring, cangkir, mangkok dan guci. Kerajaan Kutai
Kartanegara yang berada di Kalimantan Timur dulunya adalah kerajaan Suku Dayak.
Pembagian sub-sub etnis
Dikarenakan
arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih
mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya,
Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok
Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub
(menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan
mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi
kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas.
Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir
pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis
Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya
Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan
405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
Dayak pada masa kini
Dewasa
ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan(Kenyah-Kayan-Bahau), Ot
Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan.
RumpunDayak
Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau
Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi
antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari
Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis.
Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan
ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah
suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau
tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti
tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak),
pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.
Perkampungan Dayak rumpun Ot
Danum-Ngaju biasanya disebutlewu/lebu dan
pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo.
Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin
seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof.
Lambut dari Universitas
Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak
berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur
etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan
menjadi :
Namun di
dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya
"ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya
faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi
Penguburan
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
· penguburan di dalam peti batu
(dolmen)
· penguburan dengan wadah kayu,
anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang
terakhir berkembang.
Menurut
tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan
dibedakan :
2. wadah tulang-beluang :
tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
1. lubekng (tempat lungun)
2. garai (tempat lungun, selokng)
3. gur (lungun)
4. tempelaaq dan kererekng
Pada
umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1. penguburan tahap pertama (primer)
2. penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan
primer
penguburan
sekunder
Penguburan
sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya
di Kecamatan Pujungan, Malinau,
Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan
peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan
peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil
dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat
Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
· dikubur dalam tanah
· diletakkan di pohon besar
· dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi
penguburan sekun
1. Tiwah adalah prosesi penguburan
sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu
tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah
penguburan pertama di dalam tanah.
2. Ijambe adalah prosesi penguburan
sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam
satu wadah.
3. Marabia
4. Mambatur (Dayak Maanyan)
Komentar
Posting Komentar